Senang bisa mengenal dirimu.
:)
Senang bisa mengenal dirimu.
:)
Abis baca2 file di laptop... dan baca surat yg ga bakal nyampe ke penerimanya. Sedih bacanya. Surat yg pertama penuh harap. Surat yg selanjutnya nyesel. Hidup emang roller coaster ya. Kadang ngasih harapan kadang bikin down. Masalahnya sekarang... lagi di bawah. Lagi masa ngelupain tapi keingetan terus. Nyay.
Ada gadis yang meracau
Mempertanyakan hidup
Sebegitu tak adilnya
Sebegitu tak berpihak padanya
Ia benci
Benci
Terkurung di balik jeruji besi
Dihina
Tak dianggap
Dunia tak adil
Tak adil
Jeritnya
Pilu menyayat hati
Tapi tak ada yang mampu tuk selamatkannya
Hanya dialah yang mampu selamatkan
Batinnya dari keterkoyakan
Pikirannya yang dikendalikan
Manusia lain dengan segala cemoohnya
Kini ia terlepas dari jeruji besi
Menghirup udara segar
Lepas
Bebas
Secepat mungkin ia pergi
Sejauh mungkin ia pergi
Dari penjara tak berwujud
Dahulu, seorang peri kecil diturunkan ke bumi. Sayapnya indah nmenawan. Terlihat lemah tapi sebenarnya tak begitu. Ada gejolak harap menggelora tuk tebarkan benih kebahagiaan di muka bumi.
Ia tak seorang diri, dua sosok insan mengasuhnya. Sepasang kekasih yang diikatkan janji suci. Mereka bahagia Tuhan telah menitipkan peri kecil tersebut. Menyulut gejolak harap pada sang peri semakin besar. Menanam cinta dan kasih.
Kini, peri kecil tersebut telah dewasa. Sayapnya tak semanis dahulu. Senyumnya tak begitu merekah. Harapnya kebanyakan pupus. Gejolak harap tlah sirna. Ia tergerus kejamnya dunia. Benci telah terpatri dalam hatinya. Ia membenci dunia.
Tetapi, dua sosok insan tersebut selalu tersenyum dan bersabar. Tak kenal letih tuk menbuat sang peri untuk terus berjuang mengarungi samudra kehidupan. Mereka percaya bahwa sang peri memiliki kekuatan. Hanya saja, ia terlalu takut tuk menunjukkannya. Tertutupi rasa kecewanya pada dunia.
Oh ya, dua sosok insan itu seringkali sang peri sebut sebagai bapa dan mama. Sang peri selalu percaya bahwa sebutan tersebut memiliki kekuatan magis tersendiri yang melecutnya agar tetap bertahan. Ya, dia harus bertahan agar senyum mereka tetap merekah. Agar segala peluh dan tetes keringat mereka dapat terbayar walau hanya sedikit.
Sekalipun sang peri kehilangan alasan untuk tinggal di muka bumi, ia kan teringat dua sosok insan tersebut. Bapa dan mama adalah alasan perjuangan hidupnya.
"Rasa sakit itu bukan saat kali pertama hati terluka. Tapi, ketika ada yang kembali membuka luka lama tersebut."
-hasnanabilaa
Hujan
Datang
Temani langkah kakiku
Bergemericik
Menggema
Basah kuyup
Tak mengapa
Hujan telah menjadi teman
Di kala mata berkaca-kaca
Membendung perih yang mengisi
Meneteskan letih yang menyiksa
Airnya jatuh ke bumi
Bercampur tetes air mata
Yang tersamarkan
Ada harap dalam tetes itu
Meresap ke tanah
Berharap kan tumbuh
Berbuah kemudian dipetik
Tapi tidak
Tidak
Harap ini kosong belaka
Tiada makna
Tiada arti
Sang empunya telah melepas pergi harapnya
Bersamaan dengan orang yang diharapnya
Merelakan harapnya jatuh ke tanah
Mati
Terkubur
Hilang
Numb. Numb. Numb. Numb. Numb. Numb. Numb. Numb. Numb .numb. numb. Numb. Numb. Numb. Numb .numb. numb. Numb. Numb. Numb.
Udah ga peduli. Cape gini terus. Cape jatoh.
"Ada kalanya logika harus merajai perasaan supaya menjadi tameng bagi hati. Biar tak terluka. Biar saja semua mengalir."
"Mungkin masing2 harus berjuang tanpa ada yang menemani."
"Sepertinya saya harus berhenti dabln meninggalkan masa lalu."
- tertanda, yang sedang lelah batinnya
Hidup mah kudu pindah, has.
Merindu.
Saya merindu.
Pada seorang yang bisa jadi tak merindu.
Pada saya.
Yang sedang menerka.
Tentang siapa yang mengisi ruang hatinya.
Merindu.
Ingin hati berkata.
Ingin hati bersua.
Ingin hati berbincang.
Apa daya tak kuasa.
Takut.
Takut.
Takut.
Merindu.
Bagi sebagian orang adalah hal yang wajar.
Sebagiannya lagi tersiksa.
Merindu.
Membuncah.
Menyesakkan.
Sunyi. Hanya detik jarum jam menemani serta lantunan musik mengalun. Andai telinga mampu dengarkan kata hati mungkin malam ini sangat ramai dengan keluh kesah banyak orang sebelum tidur. Hati saya pun begitu, sedang menjeritkan perasaan yang terpendam tak berujung.
Sudah berapa lama? Menunggu tanpa menunjukkan. Diam seribu bahasa. Menantinya membuka pintu hati yang bisa jadi sarang laba-laba sudah memenuhinya. Letih tuk menerka. Letih tuk berharap.
Siklusnya selalu sama. Menanti kemudian jatuh. Terluka tuk kesekian kalinya karena rasa hanya mampu dipendam. Hanya mampu memercikkan api pengharapan, tiada kata atau pertanda.
Saya tak tahu.
Saya bingung.
Malam ini sangatlah ramai. Hati saya sedang menjerit tuk mencoba lepas dari segala hal. Segala kenangan. Segala memori.
Mengapa? Karena setiap hal kecilnya selalu mengingatkan saya padanya.
....
dan playlist pun memutar lagu tentang perasaan saya.
Hah, semesta kembali berkonspirasi. Paling mengerti bagaimana mewujudkan abstraksi rasa ini. Sayang, si empunya perasaan ini tak sekalipun mampu mewujudkannya.
Lantunan lagu ini seakan membawa saya pada kilasan memori yang untungnya semakin pudar. Terasa manis namun pahit. Manis tuk dikenang. Pahit tuk disadari.
Segala praduga pun bermunculan. Cukup. Cukup. Cukup. Tak ada lagi. Tak akan ada lagi.
Sudahilah semua perkara ini. Saya muak. Lagu ini semakin membunuh saya secara perlahan. Membuai kemudian menampar.
....
Semuanya memang belum jelas. Hanya saja saya tak ingin berharap lebih karena jatuh yang kesekian kalinya mungkin saja membuat mati rasa.
Takut plis. Takut banget.
Abis baca2 file di laptop... dan baca surat yg ga bakal nyampe ke penerimanya. Sedih bacanya. Surat yg pertama penuh harap. Surat yg selanjutnya nyesel. Hidup emang roller coaster ya. Kadang ngasih harapan kadang bikin down. Masalahnya sekarang... lagi di bawah. Lagi masa ngelupain tapi keingetan terus. Nyay.
Ada gadis yang meracau
Mempertanyakan hidup
Sebegitu tak adilnya
Sebegitu tak berpihak padanya
Ia benci
Benci
Terkurung di balik jeruji besi
Dihina
Tak dianggap
Dunia tak adil
Tak adil
Jeritnya
Pilu menyayat hati
Tapi tak ada yang mampu tuk selamatkannya
Hanya dialah yang mampu selamatkan
Batinnya dari keterkoyakan
Pikirannya yang dikendalikan
Manusia lain dengan segala cemoohnya
Kini ia terlepas dari jeruji besi
Menghirup udara segar
Lepas
Bebas
Secepat mungkin ia pergi
Sejauh mungkin ia pergi
Dari penjara tak berwujud
Dahulu, seorang peri kecil diturunkan ke bumi. Sayapnya indah nmenawan. Terlihat lemah tapi sebenarnya tak begitu. Ada gejolak harap menggelora tuk tebarkan benih kebahagiaan di muka bumi.
Ia tak seorang diri, dua sosok insan mengasuhnya. Sepasang kekasih yang diikatkan janji suci. Mereka bahagia Tuhan telah menitipkan peri kecil tersebut. Menyulut gejolak harap pada sang peri semakin besar. Menanam cinta dan kasih.
Kini, peri kecil tersebut telah dewasa. Sayapnya tak semanis dahulu. Senyumnya tak begitu merekah. Harapnya kebanyakan pupus. Gejolak harap tlah sirna. Ia tergerus kejamnya dunia. Benci telah terpatri dalam hatinya. Ia membenci dunia.
Tetapi, dua sosok insan tersebut selalu tersenyum dan bersabar. Tak kenal letih tuk menbuat sang peri untuk terus berjuang mengarungi samudra kehidupan. Mereka percaya bahwa sang peri memiliki kekuatan. Hanya saja, ia terlalu takut tuk menunjukkannya. Tertutupi rasa kecewanya pada dunia.
Oh ya, dua sosok insan itu seringkali sang peri sebut sebagai bapa dan mama. Sang peri selalu percaya bahwa sebutan tersebut memiliki kekuatan magis tersendiri yang melecutnya agar tetap bertahan. Ya, dia harus bertahan agar senyum mereka tetap merekah. Agar segala peluh dan tetes keringat mereka dapat terbayar walau hanya sedikit.
Sekalipun sang peri kehilangan alasan untuk tinggal di muka bumi, ia kan teringat dua sosok insan tersebut. Bapa dan mama adalah alasan perjuangan hidupnya.
Hujan
Datang
Temani langkah kakiku
Bergemericik
Menggema
Basah kuyup
Tak mengapa
Hujan telah menjadi teman
Di kala mata berkaca-kaca
Membendung perih yang mengisi
Meneteskan letih yang menyiksa
Airnya jatuh ke bumi
Bercampur tetes air mata
Yang tersamarkan
Ada harap dalam tetes itu
Meresap ke tanah
Berharap kan tumbuh
Berbuah kemudian dipetik
Tapi tidak
Tidak
Harap ini kosong belaka
Tiada makna
Tiada arti
Sang empunya telah melepas pergi harapnya
Bersamaan dengan orang yang diharapnya
Merelakan harapnya jatuh ke tanah
Mati
Terkubur
Hilang
Merindu.
Saya merindu.
Pada seorang yang bisa jadi tak merindu.
Pada saya.
Yang sedang menerka.
Tentang siapa yang mengisi ruang hatinya.
Merindu.
Ingin hati berkata.
Ingin hati bersua.
Ingin hati berbincang.
Apa daya tak kuasa.
Takut.
Takut.
Takut.
Merindu.
Bagi sebagian orang adalah hal yang wajar.
Sebagiannya lagi tersiksa.
Merindu.
Membuncah.
Menyesakkan.
Sunyi. Hanya detik jarum jam menemani serta lantunan musik mengalun. Andai telinga mampu dengarkan kata hati mungkin malam ini sangat ramai dengan keluh kesah banyak orang sebelum tidur. Hati saya pun begitu, sedang menjeritkan perasaan yang terpendam tak berujung.
Sudah berapa lama? Menunggu tanpa menunjukkan. Diam seribu bahasa. Menantinya membuka pintu hati yang bisa jadi sarang laba-laba sudah memenuhinya. Letih tuk menerka. Letih tuk berharap.
Siklusnya selalu sama. Menanti kemudian jatuh. Terluka tuk kesekian kalinya karena rasa hanya mampu dipendam. Hanya mampu memercikkan api pengharapan, tiada kata atau pertanda.
Saya tak tahu.
Saya bingung.
Malam ini sangatlah ramai. Hati saya sedang menjerit tuk mencoba lepas dari segala hal. Segala kenangan. Segala memori.
Mengapa? Karena setiap hal kecilnya selalu mengingatkan saya padanya.
....
dan playlist pun memutar lagu tentang perasaan saya.
Hah, semesta kembali berkonspirasi. Paling mengerti bagaimana mewujudkan abstraksi rasa ini. Sayang, si empunya perasaan ini tak sekalipun mampu mewujudkannya.
Lantunan lagu ini seakan membawa saya pada kilasan memori yang untungnya semakin pudar. Terasa manis namun pahit. Manis tuk dikenang. Pahit tuk disadari.
Segala praduga pun bermunculan. Cukup. Cukup. Cukup. Tak ada lagi. Tak akan ada lagi.
Sudahilah semua perkara ini. Saya muak. Lagu ini semakin membunuh saya secara perlahan. Membuai kemudian menampar.
....
Semuanya memang belum jelas. Hanya saja saya tak ingin berharap lebih karena jatuh yang kesekian kalinya mungkin saja membuat mati rasa.