Selasa, 29 Maret 2016

Jadi, Maret ini....

Bagaimana jadinya bila seorang penulis hilang asa, tak punya kehidupan, terlibat dalam rutinitas monoton? Akankah karyanya menumpuk seperti yang lalu-lalu? Atau, hilang pula asanya untuk menulis.... karena apa yg harus ditulis?

...

Saya sedang seperti itu.

...

Malam ini, rindu akan aksara semakin membuncah. Teringat, dulu masih sempat meluangkan waktu untuk sekadar menyentuh papn ketik dan membiarkan jari menari di atasnya. Entah karena saya yg sok sibuk, sehingga ranah ini, rumah maya ini terlupakan begitu saja dan usang. Untungnya, tak perlu sarang laba-laba untuk menyebutnya usang.

29 Maret 2016. Hanya butuh kurang dari 1 jam hingga tiba di penghujung Maret, bab ketiga di tahun 2016. Jadi, bagaimana? Seperti biasa, monoton. Saya lihat orang2 semakin sibuk, begitupun saya tapi berbeda konteksnya. Kesibukan ini sibuk yg tertunda, yg seharusnya sibuk 1 bulan di tahun lalu malah menjadi sibuk 1 semester di tahun ini. Tidak munafik untuk mengakui bahwa lelahnya berpuluh kali lipat antara membagi tugas ini dan itu. Di antara mempertahankan yg ada di genggaman dan memperjuangkan yg sebenar-benarnya diinginkan. Lalu, mengapa monoton?

Mungkin, titik jenuh saya sudah mencapai puncaknya, bahkan memuncak tiap harinya. Lelah. Ya, saya akui. Bosan. Ya, saya akui. konteks disini adalah lelah dan bosan menjadi manusia kaku dan serius. Ini bukan saya. Maka karena itu, monoton disini karena semuanya datar. Ketawa jarang. Nangis sering. Jadinya? Grafiknya nurun deng ga monoton.

Maka karena itu, teruntuk layar putih yg selalu menjadi saksi bisu dan tempat luapan emosi, maaf bila saya merindu tapi tak sempat bersua karena masa ini benar2 masa paling hebat dalam fase hidup saya. Hebat monotonnya. Hebat bebannya. Hebat naik apalagi turunnya. Rutinitas ini seakan mengikis aksara2 bahkan memori2 dahulu.

..

Semoga dan bukan hanya semoga belaka, semester depan sudah punya rutinitas yg dimaknai dan dijalani dengan setulus-tulusnya dan sebahagia-bahagianya. Bismillah.

Read More

Jumat, 18 Maret 2016

-

Benar adanya kata orang bahwa patah hati pertama kali tak akan terlupakan. Masih tersisa bekasnya. Masih terasa lukanya. Bahkan, hingga kini saya ragu untuk membuka hati. Lagi-lagi, saya takut terjatuh kembali.

...

Kebas. Mati rasa.

Read More

Minggu, 13 Maret 2016

Bisa ganda berkebalikan gitu ya perannya

Yang membangun juga meruntuhkan

Read More

Saya orangnya emang gitu

Kalo suka sesuatu/seseorang emang sesuka itu

Sekalinya, gasuka ya sedetik pun saya gaakan tahan kalo ada sesuatu/seseorang itu

...

Iya, saya sesuka itu sama kenangannya,sensinya,obrolannya,atmosfirnya, maroon 5

Read More

Kamis, 10 Maret 2016

"Saat ini, saya hanya butuh tombol hapus agar sakit ini hilang sudah, agar mereka dan kenangannya lenyap. Juga tombol reset karena ada keputusan yg ingin diluruskan."

Read More

Selasa, 08 Maret 2016

Random bgt

Kenapa anak smansa tuh selalu menginspirasi ya..
Tapi, di kampus belum nemu yg bisa bikin merinding gitu.

...

Terus tiba2 gue ngarep suami gue anak smansa. HA HA

Read More

Ujan di sore hari

Hujan di sore hari selalu menyenangkan. Kenapa? Karena bebas mau basah kuyup juga ga akan sebel. Sampe bela2in naik ojek pas ujan cuma buat ngerasain ujan-ujanan.

Ujan sore hari tuh hangat, melankolis, damai. Seakan ngehapus beban seharian.

Ujan sore hari tuh selalu bikin flashback. Entah siapa, entah apa. Ujungnya jadi rindu entah apa, entah siapa.

Ujan sore hari tuh... romantis. Loveable.

Ujan sore hari tuh penuu cerita, penuh kenangan.

...

Tapi, sampai saat ini belum pernah nangis di tengah ujan macem quotes yang sering muncul di medsos. Makanya, ujan di sore hari tuh bikin bahagia.

Hehe.

Read More

Kembali Hidup di Masa Lalu

Hari ini, sunyi ya.

...

Sore ini, saya tidak segera pulang ke rumah. Melipir sebentar untuk mengisi perut. Oh ya, sore ini hujan. Di  restoran itu agak ramai. Saya mengambil tempat duduk di depan jendela. Tak ada yg istimewa, kok. Hanya pemandangan rel kereta yg kosong dan orang lalu-lalang.

Sambil mengedarkan pandangan, seketika itu pikiran saya memulai kilas-balik. Kawasan restoran itu memang sudah bukan tempat asing lagi. Terlalu banyak kenangan hingga akhirnya rindu mehinggapi. Saya ingin kembali seperti dulu.

Entahlah, tapi sore ini begitu melankolis, begitu-suasana-novel. Bahkan, keramaian di sekitar seakan berlalu begitu saja di telinga. Lucunya, alunan lagu yang disetel disana begitu mendukung suasana. Semesta memang selalu berkonspirasi.

...

Pertama kalinya, di tahun 2016, turun hujan yg begitu hangat namun menyayat hati. Begitu banyak rindu yg diselipkan pada tetes-tetes air di jendela. Rindu suasana dahulu.

Ya Tuhan, saya kembali hidup di masa lalu.

Read More

Kamis, 03 Maret 2016

Sampai Kapan?

Abu-abu
Kaku
Datar

Usang

Sarang laba-labanya semakin menumpuk
Gelapnya semakin kelam
Sampai kapan?

Masih kukuh untuk menanti?
Di tengah mobilitas manusia egois

Lalu,
Sampai kapan?

Sampai kapan menanti seseorang mendobrak pintunya
Di lain pihak kamu sendiri yg selalu menahan pintu tersebut setiap kali ada yang mencoba mendobrak

Read More

Selasa, 29 Maret 2016

Jadi, Maret ini....

Bagaimana jadinya bila seorang penulis hilang asa, tak punya kehidupan, terlibat dalam rutinitas monoton? Akankah karyanya menumpuk seperti yang lalu-lalu? Atau, hilang pula asanya untuk menulis.... karena apa yg harus ditulis?

...

Saya sedang seperti itu.

...

Malam ini, rindu akan aksara semakin membuncah. Teringat, dulu masih sempat meluangkan waktu untuk sekadar menyentuh papn ketik dan membiarkan jari menari di atasnya. Entah karena saya yg sok sibuk, sehingga ranah ini, rumah maya ini terlupakan begitu saja dan usang. Untungnya, tak perlu sarang laba-laba untuk menyebutnya usang.

29 Maret 2016. Hanya butuh kurang dari 1 jam hingga tiba di penghujung Maret, bab ketiga di tahun 2016. Jadi, bagaimana? Seperti biasa, monoton. Saya lihat orang2 semakin sibuk, begitupun saya tapi berbeda konteksnya. Kesibukan ini sibuk yg tertunda, yg seharusnya sibuk 1 bulan di tahun lalu malah menjadi sibuk 1 semester di tahun ini. Tidak munafik untuk mengakui bahwa lelahnya berpuluh kali lipat antara membagi tugas ini dan itu. Di antara mempertahankan yg ada di genggaman dan memperjuangkan yg sebenar-benarnya diinginkan. Lalu, mengapa monoton?

Mungkin, titik jenuh saya sudah mencapai puncaknya, bahkan memuncak tiap harinya. Lelah. Ya, saya akui. Bosan. Ya, saya akui. konteks disini adalah lelah dan bosan menjadi manusia kaku dan serius. Ini bukan saya. Maka karena itu, monoton disini karena semuanya datar. Ketawa jarang. Nangis sering. Jadinya? Grafiknya nurun deng ga monoton.

Maka karena itu, teruntuk layar putih yg selalu menjadi saksi bisu dan tempat luapan emosi, maaf bila saya merindu tapi tak sempat bersua karena masa ini benar2 masa paling hebat dalam fase hidup saya. Hebat monotonnya. Hebat bebannya. Hebat naik apalagi turunnya. Rutinitas ini seakan mengikis aksara2 bahkan memori2 dahulu.

..

Semoga dan bukan hanya semoga belaka, semester depan sudah punya rutinitas yg dimaknai dan dijalani dengan setulus-tulusnya dan sebahagia-bahagianya. Bismillah.

Jumat, 18 Maret 2016

-

Benar adanya kata orang bahwa patah hati pertama kali tak akan terlupakan. Masih tersisa bekasnya. Masih terasa lukanya. Bahkan, hingga kini saya ragu untuk membuka hati. Lagi-lagi, saya takut terjatuh kembali.

...

Kebas. Mati rasa.

Minggu, 13 Maret 2016

Bisa ganda berkebalikan gitu ya perannya

Yang membangun juga meruntuhkan

Saya orangnya emang gitu

Kalo suka sesuatu/seseorang emang sesuka itu

Sekalinya, gasuka ya sedetik pun saya gaakan tahan kalo ada sesuatu/seseorang itu

...

Iya, saya sesuka itu sama kenangannya,sensinya,obrolannya,atmosfirnya, maroon 5

23:26

Apa kabar?

Saya rindu.

Kamis, 10 Maret 2016

"Saat ini, saya hanya butuh tombol hapus agar sakit ini hilang sudah, agar mereka dan kenangannya lenyap. Juga tombol reset karena ada keputusan yg ingin diluruskan."

Selasa, 08 Maret 2016

Random bgt

Kenapa anak smansa tuh selalu menginspirasi ya..
Tapi, di kampus belum nemu yg bisa bikin merinding gitu.

...

Terus tiba2 gue ngarep suami gue anak smansa. HA HA

Ujan di sore hari

Hujan di sore hari selalu menyenangkan. Kenapa? Karena bebas mau basah kuyup juga ga akan sebel. Sampe bela2in naik ojek pas ujan cuma buat ngerasain ujan-ujanan.

Ujan sore hari tuh hangat, melankolis, damai. Seakan ngehapus beban seharian.

Ujan sore hari tuh selalu bikin flashback. Entah siapa, entah apa. Ujungnya jadi rindu entah apa, entah siapa.

Ujan sore hari tuh... romantis. Loveable.

Ujan sore hari tuh penuu cerita, penuh kenangan.

...

Tapi, sampai saat ini belum pernah nangis di tengah ujan macem quotes yang sering muncul di medsos. Makanya, ujan di sore hari tuh bikin bahagia.

Hehe.

Kembali Hidup di Masa Lalu

Hari ini, sunyi ya.

...

Sore ini, saya tidak segera pulang ke rumah. Melipir sebentar untuk mengisi perut. Oh ya, sore ini hujan. Di  restoran itu agak ramai. Saya mengambil tempat duduk di depan jendela. Tak ada yg istimewa, kok. Hanya pemandangan rel kereta yg kosong dan orang lalu-lalang.

Sambil mengedarkan pandangan, seketika itu pikiran saya memulai kilas-balik. Kawasan restoran itu memang sudah bukan tempat asing lagi. Terlalu banyak kenangan hingga akhirnya rindu mehinggapi. Saya ingin kembali seperti dulu.

Entahlah, tapi sore ini begitu melankolis, begitu-suasana-novel. Bahkan, keramaian di sekitar seakan berlalu begitu saja di telinga. Lucunya, alunan lagu yang disetel disana begitu mendukung suasana. Semesta memang selalu berkonspirasi.

...

Pertama kalinya, di tahun 2016, turun hujan yg begitu hangat namun menyayat hati. Begitu banyak rindu yg diselipkan pada tetes-tetes air di jendela. Rindu suasana dahulu.

Ya Tuhan, saya kembali hidup di masa lalu.

Kamis, 03 Maret 2016

Sampai Kapan?

Abu-abu
Kaku
Datar

Usang

Sarang laba-labanya semakin menumpuk
Gelapnya semakin kelam
Sampai kapan?

Masih kukuh untuk menanti?
Di tengah mobilitas manusia egois

Lalu,
Sampai kapan?

Sampai kapan menanti seseorang mendobrak pintunya
Di lain pihak kamu sendiri yg selalu menahan pintu tersebut setiap kali ada yang mencoba mendobrak

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Followers