Sabtu, 25 Oktober 2014

Gadis Itu Sendiri

Tentang gadis yang menikmati kesendiriannya...


Gadis ini berjalan seorang diri
Menapaki jalan yang ramai
Berdesakan dengan pejalan kaki lainnya
Kadang terbawa oleh arus manusia
Kadang tersandung berusaha mempertahankan keseimbangannya

Gadis ini sendiri
Menelusuri jalan setapak
Ramainya jalanan tak membuatnya canggung
Sendiri sudah menjadi kesehariannya

Dia bukan seorang anti sosial
Hanya menikmati waktu dimana ia sendiri
Dimana desir angin pun bisa menjadi sebuah lantunan nada
Dimana terik matahari tidak terasa menyengat
Karena kesendirian membuatnya larut dalam pikiran

Banyak orang mempertanyakan kesendiriannya
Gadis ini hanya bereaksi dengan kikuk
Karena dia tidak merasa salah atas keadaannya
Justru, dia merasa benar.

Memangnya sendiri itu nista?

Sekali lagi, gadis ini tidak memandang sendiri sebagai tabu.
Dia menikmatinya.
Lalu untuk apa peduli dengan perkataan orang?

Gadis ini sendiri.
Tanpa merasa sepi.

Gadis ini sendiri.
Karena punya alasan kuat yang selama ini menjadi benteng kokohnya.

Alasannya sederhana,
"Untuk apa di keramaian tapi tersiksa?"

Read More

Jumat, 24 Oktober 2014

"Karena hati ini bukan untuk dijadikan tempat transit sejenak. Bukan untuk ditinggalkan layaknya ampas. Hati ini untuk bersandar tanpa ada batasan waktu yang mampu pudarkan sebuah rasa.

...Dan, saya hanya memberi ruang pada dia yang tak mengenal batasan waktu."





Selamat Malam.
Read More

Musim untuk sebuah kerelaan

      Tentang musim yang saya dambakan...

     Ini bukan musim yang indah dengan warna - warni bunga bermekaran. Bukan pula musim yang dinanti karena terika mataharinya. Atau tetang musim dengan hamparan salju yang luas. Ini musim yang mungkin kebanyakan orang menganggapnya suram. Musim yang menggugurkan daun. Musim yang memberi kehangatan.


   Saya selalu berkhayal entah suatu saat atau dimanapun nantinya. Saya berjalan di trotoar dengan pemandangan pohon yang meranggas. Melihat jatuhnya dedaunan mengiringi langkah saya. Daun - daun yang berwarna coklat berserakan dimana-mana. Disusul dengan kekesalan para penyapu jalan. Tapi, entah kenapa saya akan menikmati dedaunan yang jatuh itu. Seakan dedaunan itu adalah sebuah hiburan istimewa.


   Seharusnya, kalian bisa terka musim apa ini. Saya pikir musim ini tentang kehangatan. Warna cokelat yang seringkali mendominasi seakan membius saya masuk pada sebuah lingkar kehangatan. Kehangatan yang memeluk saya hingga saya lupa akan penat yang menggigit pikiran saya. Hah, tapi ini hanya sebuah khayalan. Karena satu detik pun saya tak pernah melewati musim ini.


  Tapi, musim ini seakan memberi saya pelajaran tentang kerelaan dedaunan yang rela jatuh  digugurkan pepohonan. Demi kelangsungan pohon, daun - daun itu rela jatuh dari tempatnya selama ini. Saya teringat dengan sebuah buku karya Tere-Liye. Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Begitu juga dengan khayalan saya tentang kerendahan hati daun untuk digugurkan demi peranggasan pohon untuk dapat bertahan hidup.

  Dunia terlalu luas untuk dijelajahi tapi tidak untuk memetik ilmu. Musim pun mengajarkan kepada kita tentang kerendah-hatian. Begitupula manusia. Andaikata, manusia memiliki kerelaan seperti dedaunan itu.

...

Tak perlu lah saya sebut musim apa itu. Definisinya hanya cukup digambarkan dengan cokelat, hangat, kerelaan.


Read More

Minggu, 12 Oktober 2014

Teruntuk sosok yang masih saya cari dan mudah-mudahan hadir dalam hidup saya,



"Selamat berjuang untuk membangun mimpi."







Selamat Malam.
Read More

Untuk 2 orang yang paling saya sayangi,


Saya sudah 16 tahun lebih di bumi ini.
Sudah banyak yang saya jalani dengan mereka.
Sudah banyak pula pengorbanan mereka untuk saya.
Dan, banyak pula doa dan harapan mereka untuk saya.

Waktu seakan berjalan cepat.
Hingga saya tersentak ketika saya menoleh ke belakang.
Banyak hal yang telah berubah.
Begitu pun mereka.

Garis - garis di raut mukanya mulai terlihat.
Seakan menunjukkan betapa banyak hal yang telah mereka alami.
Tenaga mereka juga tak seperti dulu lagi.
Dan uban mulai menghiasi rambut salah seorangnya.

Dan...
Aku pun merenung.
Sidah berapa banyak harapan mereka yang pupus karena saya?
Sudah berapa banyak air mata yang mereka teteskan karena saya?
Sudah berapa tetes keringat yang mereka korbankan demi saya?
...

Sudah berapa banyak saya memberi untuk mereka ?

...

Teruntuk mama dan bapak,
Tetaplah menjadi orang terhebat yang ada dalam hidup teteh.
Terimakasih atas ketegaran dan pengorbanan yang telah diberikan.
Terimakasih atas doa - doa yang telah dipanjatkan untuk kebahagian teteh.

..,

Mah, Pak, anakmu ini memohon maaf dan akan selalu meminta untuk diiringi setiap langkahnya dalam doa mama dan bapak.

...

dan terakhir tetapi tidak akan menjadi yang benar - benar terakhir,
doakan anakmu untuk mewujudkan harapan terbesarmu,


....................................
Read More

Menjelajah. Mengembara.

   Mengembara bertemu orang baru.
.
.
.

   Hari ini biasa saja. Hanya, dipaksa atau dituntut untuk mengikuti psikotest yang agak susah buat tubuh kembali memulai aktivitas. Hari ini ya normal - normal saja. Sampai akhirnya, saya di angkutan publik itu lagi.

  Entah kenapa setiap saya di sana saya selalu berpikir untuk meng-eksplor suatu tempat baru. Bertemu orang - orang baru. Berkenalan dengan budaya baru. Bukan, ini bukan tentang travelling. Saya hanya ingin berkenalan dengan orang baru. Mengenal dunia dengan lingkup yang lebih luas.

  Mengembara terlihat seperti kata yang menggambarkan bahwa saya ingin berpergian jauh. Sangat jauh. Tapi, lagi-lagi tidak seperti itu. Saya tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena saya sudah berada di titik paling maksimal dimana kejenuhan saya semakin menjadi - menjadi. Atau mungkin karenas saya terlalu lama berada di lingkup itu - itu saja.

  Apalah itu penyebabnya, yang saya tahu saya ingin mengenal banyak orang dengan kepribadian berbeda. Melihat sisi lain dari penduduk bumi. Ya, membuat saya untuk lebih terbuka dengan orang lain.

  Saya ingin menjelajah suatu tempat yang nantinya bisa menjadi tempat kenangan sendiri. Entah kenapa, semakin bertambah umur semakin banyak hal yang menyisakan kenangan. Contohnya, saya seringkali mengunjungi suatu tempat dan mendadak terlinta satu kejadian yang memang pernah saya alami di tempat itu. Seakan tempat itu mampu merekam ulang peristiwa tersebut.

Hm, mungkin saya ingin mengembara karena ...

Saya ingin mengabadikan suatu momen di seluk-beluk hamparan bumi. Hingga nanti, banyak tempat yang akan bercerita kepada saya.


Read More

Jumat, 10 Oktober 2014

Tentang Sisi yang Tak Terjamah

  Siang itu, terik. Matahari rasanya membakar. Mungkin ingin menampakkan amarahnya pada manusia yang tak hentinya melubangi atmosfir. Atau, sekedar menyombongkan teriknya pada seluruh jagat raya.

   Teriknya matahari hampir membuat mata ku kabur. Sekedar berteduh dari panasnya. Berdiri di emperan toko. Memandangi lalu-lalang pejalan kaki yang hendak melanjutkan aktivitasnya.

   Apa karena suhu sudah terlalu panas, hingga menguapkan kesadaranku? Pikiran ku pun membumbung jauh. Mungkin hendak menghampiri matahari. Mencaci-maki sang raja siang yang keterlaluan itu.

  Tapi, anggapanku salah. Pikiranku membumbung jauh ke beberapa masa. Beberapa waktu yang lalu. Sebagian lagi menuju beberapa waktu ke depan.

  Pikiranku menuju sebuah sisi perjalanan yang mungkin tak akan ada habisnya. Yang siklusnya selalu sama. Sempat terhenti. Namun, seperti muncul ke permukaan kembali.

   Tentang sisi ini memang tak ada habisnya. Entah sisi ini akan berlabuh dimana. Entah akan berlabuh atau terus mengarungi hingga lelah pun membuncah. Siklusnya membuatku letih. Membuatku takut untuk berbagi dengan seseorang. Dan hanya mampu berbagi dengan "apa".

  Tentang siklus ini, selalu pada "tempat" yang sama. Terhenti. Memulai kembali. Terhenti. Memulai kembali. Dan begitupun seterusnya. Hingga aku pun sudah tak ingin menjamah siklus tersebut. Karena....peduli apa?

  Mindset tentang siklus ini pun sudah terbentuk. Dengan pertanyaan, "untuk apa jika terus berakhir seperti ini?". Pertanyaan ini seakan membentuk bangunan tersendiri. Bangunan yang kokoh, dengan bebatuan yang bertumpuk-tumpuk dan besi yang dingin.

  Tapi...... Bangunan ini diselubungi ketakutan akan siapa yang akan menerobosnya. Menghancurkan semuanya.

  Dan ketakutan ini membentuk diriku. Menjadi dingin seperti besi.

  Seketika, alam bawah sadar ku pun kembali. Tersadar, langit diselubungi awan-awan. Menghalau sinar matahari. Sepertinya, pikiran ku berhasil membujuk sang raja siang.

  Teringat akan apa yang kupikirkan. Untuk saat ini mungkin ketakutan ini akan tetap jadi pertahananku. Hingga suatu saat.

  Dan aku pun pergi meninggalkan emperan toko.

Read More

Sabtu, 25 Oktober 2014

Gadis Itu Sendiri

Tentang gadis yang menikmati kesendiriannya...


Gadis ini berjalan seorang diri
Menapaki jalan yang ramai
Berdesakan dengan pejalan kaki lainnya
Kadang terbawa oleh arus manusia
Kadang tersandung berusaha mempertahankan keseimbangannya

Gadis ini sendiri
Menelusuri jalan setapak
Ramainya jalanan tak membuatnya canggung
Sendiri sudah menjadi kesehariannya

Dia bukan seorang anti sosial
Hanya menikmati waktu dimana ia sendiri
Dimana desir angin pun bisa menjadi sebuah lantunan nada
Dimana terik matahari tidak terasa menyengat
Karena kesendirian membuatnya larut dalam pikiran

Banyak orang mempertanyakan kesendiriannya
Gadis ini hanya bereaksi dengan kikuk
Karena dia tidak merasa salah atas keadaannya
Justru, dia merasa benar.

Memangnya sendiri itu nista?

Sekali lagi, gadis ini tidak memandang sendiri sebagai tabu.
Dia menikmatinya.
Lalu untuk apa peduli dengan perkataan orang?

Gadis ini sendiri.
Tanpa merasa sepi.

Gadis ini sendiri.
Karena punya alasan kuat yang selama ini menjadi benteng kokohnya.

Alasannya sederhana,
"Untuk apa di keramaian tapi tersiksa?"

Jumat, 24 Oktober 2014

"Karena hati ini bukan untuk dijadikan tempat transit sejenak. Bukan untuk ditinggalkan layaknya ampas. Hati ini untuk bersandar tanpa ada batasan waktu yang mampu pudarkan sebuah rasa.

...Dan, saya hanya memberi ruang pada dia yang tak mengenal batasan waktu."





Selamat Malam.

Musim untuk sebuah kerelaan

      Tentang musim yang saya dambakan...

     Ini bukan musim yang indah dengan warna - warni bunga bermekaran. Bukan pula musim yang dinanti karena terika mataharinya. Atau tetang musim dengan hamparan salju yang luas. Ini musim yang mungkin kebanyakan orang menganggapnya suram. Musim yang menggugurkan daun. Musim yang memberi kehangatan.


   Saya selalu berkhayal entah suatu saat atau dimanapun nantinya. Saya berjalan di trotoar dengan pemandangan pohon yang meranggas. Melihat jatuhnya dedaunan mengiringi langkah saya. Daun - daun yang berwarna coklat berserakan dimana-mana. Disusul dengan kekesalan para penyapu jalan. Tapi, entah kenapa saya akan menikmati dedaunan yang jatuh itu. Seakan dedaunan itu adalah sebuah hiburan istimewa.


   Seharusnya, kalian bisa terka musim apa ini. Saya pikir musim ini tentang kehangatan. Warna cokelat yang seringkali mendominasi seakan membius saya masuk pada sebuah lingkar kehangatan. Kehangatan yang memeluk saya hingga saya lupa akan penat yang menggigit pikiran saya. Hah, tapi ini hanya sebuah khayalan. Karena satu detik pun saya tak pernah melewati musim ini.


  Tapi, musim ini seakan memberi saya pelajaran tentang kerelaan dedaunan yang rela jatuh  digugurkan pepohonan. Demi kelangsungan pohon, daun - daun itu rela jatuh dari tempatnya selama ini. Saya teringat dengan sebuah buku karya Tere-Liye. Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Begitu juga dengan khayalan saya tentang kerendahan hati daun untuk digugurkan demi peranggasan pohon untuk dapat bertahan hidup.

  Dunia terlalu luas untuk dijelajahi tapi tidak untuk memetik ilmu. Musim pun mengajarkan kepada kita tentang kerendah-hatian. Begitupula manusia. Andaikata, manusia memiliki kerelaan seperti dedaunan itu.

...

Tak perlu lah saya sebut musim apa itu. Definisinya hanya cukup digambarkan dengan cokelat, hangat, kerelaan.


Minggu, 12 Oktober 2014

Teruntuk sosok yang masih saya cari dan mudah-mudahan hadir dalam hidup saya,



"Selamat berjuang untuk membangun mimpi."







Selamat Malam.
Untuk 2 orang yang paling saya sayangi,


Saya sudah 16 tahun lebih di bumi ini.
Sudah banyak yang saya jalani dengan mereka.
Sudah banyak pula pengorbanan mereka untuk saya.
Dan, banyak pula doa dan harapan mereka untuk saya.

Waktu seakan berjalan cepat.
Hingga saya tersentak ketika saya menoleh ke belakang.
Banyak hal yang telah berubah.
Begitu pun mereka.

Garis - garis di raut mukanya mulai terlihat.
Seakan menunjukkan betapa banyak hal yang telah mereka alami.
Tenaga mereka juga tak seperti dulu lagi.
Dan uban mulai menghiasi rambut salah seorangnya.

Dan...
Aku pun merenung.
Sidah berapa banyak harapan mereka yang pupus karena saya?
Sudah berapa banyak air mata yang mereka teteskan karena saya?
Sudah berapa tetes keringat yang mereka korbankan demi saya?
...

Sudah berapa banyak saya memberi untuk mereka ?

...

Teruntuk mama dan bapak,
Tetaplah menjadi orang terhebat yang ada dalam hidup teteh.
Terimakasih atas ketegaran dan pengorbanan yang telah diberikan.
Terimakasih atas doa - doa yang telah dipanjatkan untuk kebahagian teteh.

..,

Mah, Pak, anakmu ini memohon maaf dan akan selalu meminta untuk diiringi setiap langkahnya dalam doa mama dan bapak.

...

dan terakhir tetapi tidak akan menjadi yang benar - benar terakhir,
doakan anakmu untuk mewujudkan harapan terbesarmu,


....................................

Menjelajah. Mengembara.

   Mengembara bertemu orang baru.
.
.
.

   Hari ini biasa saja. Hanya, dipaksa atau dituntut untuk mengikuti psikotest yang agak susah buat tubuh kembali memulai aktivitas. Hari ini ya normal - normal saja. Sampai akhirnya, saya di angkutan publik itu lagi.

  Entah kenapa setiap saya di sana saya selalu berpikir untuk meng-eksplor suatu tempat baru. Bertemu orang - orang baru. Berkenalan dengan budaya baru. Bukan, ini bukan tentang travelling. Saya hanya ingin berkenalan dengan orang baru. Mengenal dunia dengan lingkup yang lebih luas.

  Mengembara terlihat seperti kata yang menggambarkan bahwa saya ingin berpergian jauh. Sangat jauh. Tapi, lagi-lagi tidak seperti itu. Saya tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena saya sudah berada di titik paling maksimal dimana kejenuhan saya semakin menjadi - menjadi. Atau mungkin karenas saya terlalu lama berada di lingkup itu - itu saja.

  Apalah itu penyebabnya, yang saya tahu saya ingin mengenal banyak orang dengan kepribadian berbeda. Melihat sisi lain dari penduduk bumi. Ya, membuat saya untuk lebih terbuka dengan orang lain.

  Saya ingin menjelajah suatu tempat yang nantinya bisa menjadi tempat kenangan sendiri. Entah kenapa, semakin bertambah umur semakin banyak hal yang menyisakan kenangan. Contohnya, saya seringkali mengunjungi suatu tempat dan mendadak terlinta satu kejadian yang memang pernah saya alami di tempat itu. Seakan tempat itu mampu merekam ulang peristiwa tersebut.

Hm, mungkin saya ingin mengembara karena ...

Saya ingin mengabadikan suatu momen di seluk-beluk hamparan bumi. Hingga nanti, banyak tempat yang akan bercerita kepada saya.


Jumat, 10 Oktober 2014

Tentang Sisi yang Tak Terjamah

  Siang itu, terik. Matahari rasanya membakar. Mungkin ingin menampakkan amarahnya pada manusia yang tak hentinya melubangi atmosfir. Atau, sekedar menyombongkan teriknya pada seluruh jagat raya.

   Teriknya matahari hampir membuat mata ku kabur. Sekedar berteduh dari panasnya. Berdiri di emperan toko. Memandangi lalu-lalang pejalan kaki yang hendak melanjutkan aktivitasnya.

   Apa karena suhu sudah terlalu panas, hingga menguapkan kesadaranku? Pikiran ku pun membumbung jauh. Mungkin hendak menghampiri matahari. Mencaci-maki sang raja siang yang keterlaluan itu.

  Tapi, anggapanku salah. Pikiranku membumbung jauh ke beberapa masa. Beberapa waktu yang lalu. Sebagian lagi menuju beberapa waktu ke depan.

  Pikiranku menuju sebuah sisi perjalanan yang mungkin tak akan ada habisnya. Yang siklusnya selalu sama. Sempat terhenti. Namun, seperti muncul ke permukaan kembali.

   Tentang sisi ini memang tak ada habisnya. Entah sisi ini akan berlabuh dimana. Entah akan berlabuh atau terus mengarungi hingga lelah pun membuncah. Siklusnya membuatku letih. Membuatku takut untuk berbagi dengan seseorang. Dan hanya mampu berbagi dengan "apa".

  Tentang siklus ini, selalu pada "tempat" yang sama. Terhenti. Memulai kembali. Terhenti. Memulai kembali. Dan begitupun seterusnya. Hingga aku pun sudah tak ingin menjamah siklus tersebut. Karena....peduli apa?

  Mindset tentang siklus ini pun sudah terbentuk. Dengan pertanyaan, "untuk apa jika terus berakhir seperti ini?". Pertanyaan ini seakan membentuk bangunan tersendiri. Bangunan yang kokoh, dengan bebatuan yang bertumpuk-tumpuk dan besi yang dingin.

  Tapi...... Bangunan ini diselubungi ketakutan akan siapa yang akan menerobosnya. Menghancurkan semuanya.

  Dan ketakutan ini membentuk diriku. Menjadi dingin seperti besi.

  Seketika, alam bawah sadar ku pun kembali. Tersadar, langit diselubungi awan-awan. Menghalau sinar matahari. Sepertinya, pikiran ku berhasil membujuk sang raja siang.

  Teringat akan apa yang kupikirkan. Untuk saat ini mungkin ketakutan ini akan tetap jadi pertahananku. Hingga suatu saat.

  Dan aku pun pergi meninggalkan emperan toko.

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Followers