Tadinya kagum aja. Tiba2 jadi membuncah gini. Masalahnya hal ini salah. Hah. Baru saya rasakan.
Aneh, cinta di usia ini terasa kompleks. Tidak seperti semasa sekolah. Perasaan ini seakan tak banyak pertimbangan. Jatuh ya jatuh saja. Tak peduli ke depannya seperti apa. Pun, jatuhnya dgn teman sebaya. Tak banyak yg dipusingkan.
Selepas kuliah, rasanya perasaan ini semakin sulit. Bertemu org yg berbeda beda. Banyak pertimbangan untuk ke langkah serius, katanya. Sejujurnya, aku hanya ingin menikmati sekejap saja. Tanpa perlu menjadi visioner. Just enjoy the moment. Tapi lagi2 tak bisa. Hah, udh gatau harus gmn.
Sedang di titik ingin lari dari segalanya ke tempat yg baru. Lingkungan baru, budaya baru, orang2 baru. Menjelajahi sudut dunia yg lain. Rasanya sudah pengap disini. Kapankah? Bahkan ancang2 pun belum ada
Dulu, aku paling bisa menahan rasa. Paling bisa tau kapan harus berhenti. Apalagi, kalau sudah paham ada jurang yg berbeda. Apalagi, kalau sudah mengerti bahwa probabilitasnya bagai jarum dalam jerami. Sulit. Tak mungkin.
Nyatanya, malah semakin dewasa, makin sulit untuk menahan rasa ini. Aku lupa dimana remnya. Hal ini berujung pada bendungan air mata. Aku tahu. Aku yang salah. Aku yang bodoh.
Hah. Tuhan, tolong segerakan aku untuk sampai pada nama uang sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Aku hanya takut semakin tersesat dan tak tahu putar arah kemana.
Tadinya kagum aja. Tiba2 jadi membuncah gini. Masalahnya hal ini salah. Hah. Baru saya rasakan.
Aneh, cinta di usia ini terasa kompleks. Tidak seperti semasa sekolah. Perasaan ini seakan tak banyak pertimbangan. Jatuh ya jatuh saja. Tak peduli ke depannya seperti apa. Pun, jatuhnya dgn teman sebaya. Tak banyak yg dipusingkan.
Selepas kuliah, rasanya perasaan ini semakin sulit. Bertemu org yg berbeda beda. Banyak pertimbangan untuk ke langkah serius, katanya. Sejujurnya, aku hanya ingin menikmati sekejap saja. Tanpa perlu menjadi visioner. Just enjoy the moment. Tapi lagi2 tak bisa. Hah, udh gatau harus gmn.
Ketika lu gatau mau kemana lagi. Semuanya buntu. Ketika bener2 gabisa jadi org yg kapabel, bisa diandalkan. Rasanya cape banget. Asli. Masih gabisa jadi tempat bertumpu org. Rasanya pgn lepas. Bebas. Tapi, entah kemana. Saya terjerat kembali
Sedang di titik ingin lari dari segalanya ke tempat yg baru. Lingkungan baru, budaya baru, orang2 baru. Menjelajahi sudut dunia yg lain. Rasanya sudah pengap disini. Kapankah? Bahkan ancang2 pun belum ada
Dulu, aku paling bisa menahan rasa. Paling bisa tau kapan harus berhenti. Apalagi, kalau sudah paham ada jurang yg berbeda. Apalagi, kalau sudah mengerti bahwa probabilitasnya bagai jarum dalam jerami. Sulit. Tak mungkin.
Nyatanya, malah semakin dewasa, makin sulit untuk menahan rasa ini. Aku lupa dimana remnya. Hal ini berujung pada bendungan air mata. Aku tahu. Aku yang salah. Aku yang bodoh.
Hah. Tuhan, tolong segerakan aku untuk sampai pada nama uang sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Aku hanya takut semakin tersesat dan tak tahu putar arah kemana.