Minggu, 24 Agustus 2014

Minggu, 24 Agustus 2014

Sore itu langit mendung. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi bumi. Seketika, layaknya air yang ditumpahkan ke bumi, tetesan air hujan itu makin deras. Tidak ada jeda sedikitpun. Seperti tak ingin ada satupun makhluk hidup yang tidak terkena cipratan airnya.

Aku, berlari dengan langkah panjang menerobos tumpahan air hujan. Tetap saja basah kuyup walaupun sudah berlari kencang. Aku pun berhenti sejenak pada sebuah halte. Menunggu hujan reda. Dasarnya si melankolis, menunggu di halte pun malah teringat sepotong bagian novel yang pernah kubaca. Kemudian berandai.

Aku menunggu tak lama, tapi pada saat itu aku melihat sekeliling. Mobil-mobil menembus air hujan, orang - orang berlarian tanpa payung. Seketika, kepalalaku menengadah. Ada yang beda. Langitnya memang mendung. Hujannya memang deras. Anginnya pun kencang. Tapi, awannya membuatku takjub. Merinding memang. Ketika melihat awan bergerak dengan cepat. Berpindah tempat ke satu arah. Awan itu seperti televisi di halte yang memberikan sedikit pertunjukkan untukku. Bagaimana tidak, ketika aku melihat langit sekeliling, langitnya sama. Hanya mendung. Tak ada awan yang begitu jelas.

Sekali lagi aku dibuat takjub keindahan alam. Bukan lagi karena pelangi ataupun gradasi langit senja. Tapi, karena awan hitam di langit yang mendung.

Seakan memberi pelajaran bahwa segelap apapun yang terlihat bukan berarti tak bisa membuat takjub.

0 comments:

Posting Komentar

Minggu, 24 Agustus 2014

Minggu, 24 Agustus 2014

Sore itu langit mendung. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi bumi. Seketika, layaknya air yang ditumpahkan ke bumi, tetesan air hujan itu makin deras. Tidak ada jeda sedikitpun. Seperti tak ingin ada satupun makhluk hidup yang tidak terkena cipratan airnya.

Aku, berlari dengan langkah panjang menerobos tumpahan air hujan. Tetap saja basah kuyup walaupun sudah berlari kencang. Aku pun berhenti sejenak pada sebuah halte. Menunggu hujan reda. Dasarnya si melankolis, menunggu di halte pun malah teringat sepotong bagian novel yang pernah kubaca. Kemudian berandai.

Aku menunggu tak lama, tapi pada saat itu aku melihat sekeliling. Mobil-mobil menembus air hujan, orang - orang berlarian tanpa payung. Seketika, kepalalaku menengadah. Ada yang beda. Langitnya memang mendung. Hujannya memang deras. Anginnya pun kencang. Tapi, awannya membuatku takjub. Merinding memang. Ketika melihat awan bergerak dengan cepat. Berpindah tempat ke satu arah. Awan itu seperti televisi di halte yang memberikan sedikit pertunjukkan untukku. Bagaimana tidak, ketika aku melihat langit sekeliling, langitnya sama. Hanya mendung. Tak ada awan yang begitu jelas.

Sekali lagi aku dibuat takjub keindahan alam. Bukan lagi karena pelangi ataupun gradasi langit senja. Tapi, karena awan hitam di langit yang mendung.

Seakan memberi pelajaran bahwa segelap apapun yang terlihat bukan berarti tak bisa membuat takjub.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Followers